page contents
 
Jasuma Jsm

FAKTA
Pla•gi•at [n] pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misal menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan; pla•gi•a•tor [n] orang yang mengambil karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan disiarkan sebagai karangan (pendapat, karya) sendiri; penjiplak;

pla•gi•a•ris•me [n] penjiplakan yang melanggar hak cipta;

Plagiatis, plagiasi, dan plagiarian tidak terdaftar di KBBI.

OPINI
Plagiatis, mungkin beranalogi ke kata berakhiran /-tis, -is, if/ yang memaknai sifat (nasionalistis, nasionalis). Jadi, mungkin plagiatis dimaksudkan untuk menyatakan sifat atau fenomena/kondisi plagiat (silakan teman-teman tinjau sisi morfologinya).

Plagiasi, mungkin beranalogi ke yang akhir kata ada /-si/ yang memaknai proses (sosialisasi, nasionalisasi), Jadi, mungkin plagiasi dimaksudkan untuk menyatakan proses plagiat (silakan teman-teman tinjau sisi morfologinya).

Plagiarian, mungkin beranalogi ke kata yang akhir kata ada /-an/ (bukan akhiran -an) yang memaknai orang/pelaku (vegetarian, laboran). Jadi, mungkin plagitarian dimaksudkan untuk menyatakan orang yang menganut paham plagiat (silakan teman-teman tinjau sisi morfologinya).
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Pemakaian tanda baca /!?/, /?!/, /!!!!!/, dan /????/ sering sekali kita temukan dalam tulisan, terutama dalam status di facebook ini. Tanda seru /!/ digunakan pada akhir kalimat perintah, larangan, permohonan, harapan, dan ajakan, misalnya "Berliburlah ke tempat nenekmu!" atau "Kerjakan segera, Harys!" Tanda tanya /?/ digunakan dalam kalimat interogatif, misalnya "Siapakah wanita berkerudung melati yang setiap hujan turun selalu berdiri di bawah jendela itu?" atau "Engkaukah itu, Rys, yang selalu mengganggu pikiranku lewat berpucuk-pucuk surat beraroma melati?" Jadi, jelaslah penggunaan dua tanda baca ini. Satu bernada perintah. Satunya lagi bernada tanya. Keduanya tidak bisa disatukan sebab berlainan jenis. Kemudian, hindari penggunaan tanda baca seperti /!!!!!/ dan /?????/. Mubazir. Cukup gunakan satu saja /!/ atau /?/.


Satu hal lagi kebiasaan pengarang cerpen yang sebaiknya dihindari, yaitu penggunaan tanda titik /............/ yang banyak sekali. Maksudnya apa? Jika ada kata di tengah-tengah kalimat yang dihilangkan, maka cukup gunakan tiga tanda titik /.../, misalnya, "Aku tak menyangka..., ah, sudahlah. Semua terserah dirimu." Jika ada kata-kata yang dihilangkan di akhir kalimat, maka gunakanlah empat tanda titik /..../, misalnya "Nenek tua yang selalu mengunyah sirih itu tak henti-henti bergaok-gaok, menceracau, dan misuh tak keruan. Air ludahnya berlari ke sana sini. Air ludahnya. Sirihnya ...."

 
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009: 56), arkais berarti 1) berhubungan dengan masa dahulu atau berciri kuno, tua; 2) tidak lazim dipakai lagi (tentang kata). Beberapa pengarang cerpen kontemporer, seperti Benny Arnas dan Guntur Alam, sering menggunakan kata-kata arkais dalam karya mereka. Penggunaan kata-kata arkais ini, terutama dalam karya sastra, setidaknya menghidupkan dan mengenalkan kembali kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Dalam kalimat "Lelaki yang kepalanya dipenuhi api itu ingin sekali mengasam lelaki yang merengap tak keruan di depan hidungnya."
Kata "mengasam" dan "merengap" merupakan kata yang jarang sekali digunakan, baik dalam karya sastra kontemporer mau pun ragam bahasa resmi. Kata "mengasam" berasal dari bentuk dasar "kasam" yang berarti membalas dendam sedangkan "merengap" memiliki arti mengap-mengap; mengah-mengah (lelah dan sebagainya). 


Berikut daftar kata-kata arkais:

  • ahkam = hukum, undang-undang
  • anggara = buas; liar
  • anju = 1. percobaan hendak melangkah, melompat, dsb.; ancang-ancang; 2. maksud; tujuan.
  • bad = angin
  • bagul = menggendong; mendukung
  • bahalan = bengkak bernanah pada selangkangan
  • balabad = 1. atas angin; 2. angin darat; angin pegunungan
  • banang = besar pada jenisnya
  • bedegap = kuat; tegap
  • begu = hantu hutan
  • belabas = kain sutra berbenang emas
  • belangah = terbuka lebar-lebar; ternganga; menganga
  • belu belai = 1. banyak mulut; cerewet 2. kata-kata lembut dan manis
  • bembarap = tandu untuk mengangkat orang
  • bengah = 1. dalam keadaan duduk dengan menegakkan badan dan kepala; 2. sombong; angkuh; pongah
  • benyai = terlalu lembek; terlalu lunak (seperti nasi yang terlalu banyak airnya)
  • berenggil = menonjol (tersembul) ke luar (seperti mata kepiting, biji jambu monyet)
  • berus/memberus = sikat/menyikat
  • bocok = kelambu penutup buaian bayi
  • bokoh = lemah; lembik

  • bungar = pertama kali keluar (tentang telur, buah, bunga, dan sebagainya)
  • buar= suka menghamburkan uang; boros; royal
  • bungkas = terjungkit pada ujungnya atau pada pangkalnya
  • boyas = buncit; gendut
  • bungsil = putik nyiur; mumbang
  • buntal = gembung; buncit
  • buldan = negeri; kota
  • bujut = kusut (benang, rambut, dan sebagainya)
  • cabar = 1. hilang dayanya; tidak manjur (tentang guna-guna dsb.); 2. tawar otentang hati, keberanian) 3. kurang ingatan; lalai; lengah; 4. kurang (tidak) hemat
  • cacil = amat kecil (jika dibandingkan dengan pasangannya atau yang lainnya)
  • caduk (mencaduk) = mengangkat atau menaikkan (kepala, ujung belalai, dsb.)
  • cagut (mencagut) = memagut; mencatuk; mematik
  • caring (mencaring)= melanggar (hak)
  • celapak (mencelapaki) = mengangkangi
  • celih = malas-malas; segan-segan
  • celuk = 1. memasukkan tangan untuk mengambil sesuatu; 2. mencopet; mencuri
  • cempelik = permainan judi dengan dua keping mata uang yang dilemparkan ke atas
  • cempera (bercempera) = pecah belah; berhamburan; bercerai-berai
  • cempiang = pendekar; jagoan
  • cengis = berbau sangat sangit
  • cerabih (mencerabih) = bercakap-cakap tidak keruan; banyak omong; berseloroh
  • ceratai (mencerataikan) = meceritakan (mempercakapkan dengan ramai
  • cerling = melihat ke sebelah kanan atau kiri; menjeling; mengerling
  • cerut = mebelit (mengikat dsb.) erat-erat (seperti ular besar membelit mangsanya)
  • cetai (bercetai-cetai) = robek panjang di beberapa tempat (tentang kain dsb.); cabik-cabik; koyak-koyak; 
  • cicik = jijik
  • cilap = kelip; kedip
  • cogok (tercogok) = tertegak; terconggok
  • cola cala = bercakap (bercerita) yang bukan-bukan; beromong kosong; membual
  • colang-caling = tidak teratur; tidak keruan;
  • comor = kotor sekali

  • daduk (mendaduk) = mengemis
  • damal = maju perlahan-lahan (tentang kapal)
  • dangkar (mendangkar) = menggulung
  • dawat = tinta
  • dayus = hina budi pekertinya
  • dedar = berasa panas (tentang badan)
  • dedau = berteriak (menjerit) nyaring-nyaring
  • demap = rakus
  • derana = tahan dan tabah menderita sesuatu (tidak lekas patah hati, putus asa, dsb.)
  • dergama = fitnah

  • embal = belum kering benar, lembab
  • empul = terkatung-katung tidak dapat maju (tentang perahu)
  • erot (mengerotkan) = memencongkan (mulut)
  • gerbas-gerbus = berbunyi berdesau-desau
  • geracak = berbunyi seperti air menggelegak
  • giris = ketakutan; sangat takut
  • goak, bergoak-goak = berteriak keras-keras, berkoar-koar
  • gumbuk, menggumbuk = membujuk

  • hamun = caci maki yang sangat kasar; sumpah serapah
  • hidu (menghidu) = mencium (bau), membaui
  • hembalang, berhembalang = berguling-guling; pontang panting
  • ikhbar = penyampaian berita, pengabaran
  • ili, mengili = menyelamatkan diri ke tempat yang aman; mengungsi
  • inca = kacau
  • inca-binca = kacau balau
  • incit = enyahlah, pergilah
  • mengincitkan = mengusir, mengenyahkan, menghalau

  • jamadat = benda padat yang tidak bernyawa, seperti batu, kayu
  • jampuk, menjampuk = memotong (menyela) pembicaraan orang
  • jamung = suluh yang dibuat dari daun nyiur kering ; obor
  • jangak = tidak senonoh tingkah lakunya, risau; cabul
  • jangkih-mangkih = tidak keruan atau tidak teratur; terserak-serak; jongkang-jangking
  • jelabak, terjelabak = roboh; runtuh
  • jelanak, menjelanak = menyelinap (menyuruk, merayap) di bawah dedaunan dsb.
  • jelangak, menjelangak = mendongak
  • jelau, menjelau = menjenguk
  • jendera = nyenyak (tentang tidur); lena
  • jengking, menjengking = menungging
  • jerangkah = bercabang-cabang
  • jujut, menjujut = menarik (tali dsb.)

  • kabir, mengabir = meraih, mengayuh dengan satu pengayuh
  • kadera = 1. kursi; 2. tandu; usungan
  • kaftan = baju panjang
  • kalakian = ketika itu; lalu; kemudian
  • kalar = leher baju
  • kanjal = terhenti karena terhalang dsb.
  • karut, berkarut = kusut; kacau tidak keruan
  • karut-marut = 1. kusut (kacau) tidak keruan; rusuh dan bingung (tentang pikiran, hati, dsb.); banyak bohong dan dustanya (tentang perkataan dsb.); 2. berkerut-kerut tidak keruan (tentang muka, wajah, dsb.)
  • mengarut = mengusutkan; mengacaukan; membuat rusuh tidak keruan; 2. berkata tidak keruan; berbohong
  • kasam = dendam kesumat
  • mengasam = membalas dendam
  • katah, terkatah-katah = terguling-guling; terpelanting
  • kayai, mengayaikan = menguatkan diri untuk berdiri
  • kecumik = mulut yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara
  • berkecumik = berkomat-kamit
  • kedau, mengedau = berteriak (minta tolong dsb.)
  • kekas, mengekas = mengais (tentang ayam)
  • kelambur = berkerut-kerut; kisut
  • keranta = kutu yang tampak pada tubuh orang yang (akan) mati
  • keriau, berkeriau = berteriak; memekik-mekik
  • kesut, terkesut-kesut = susah dan ketakutan
  • kincau, mengincau = mengaduk; mencampur
  • kinjat, terkinjat = terloncat; tersentak; terperanjat
  • kipai, mengipaikan = mengibas-ngibaskan (ekor)
  • kusat-mesat = sangat kusut

  • lalak, melalak = menyala; terbakar; meletup
  • lalang, melalang = mengembara; pergi ke mana-mana
  • larat = 1. hanyut dan tidak menyangkut; 2. bertambah jauh (panjang, luas, mendalam, dsb.) 3. pergi jauh meninggalkan kampung halaman; 4. sedih sekali; melantur-lantur 5. iba; terharu
  • berlarat-larat = 1. berada dalam keadaan larat; 2. bertambah jauh (hanyut, pergi); 3. semakin menjadi (melantur-lantur, berpanjang, panjang, berlanjut-lanjut); 4. bertambah melebar 
  • langguk = congkak; sombong
  • langis = habis binasa (punah) seluruhnya; tumpas
  • lebas, melebas = menyebat; memukulkan (rotan, cambuk, dsb.)
  • lecah = berlumpur; tempat becek
  • lejar = sangat penat; sangat capai
  • lekam, melekam = memegang erat-erat dengan telunjuk dan ibu jari
  • lelar, memperlelar = memakai (sesuatu) berulang-ulang; mengulang-ulang (pekerjaan, perkataan, dsb.)
  • lenggong, melenggong = ternganga (keheranan)
  • lengkang = menjadi lebar (tentang cincin, gelang, kail, tangkai kacamata, dsb.)
  • lerak = rusak tercerai-cerat
  • letai = lemah sekali; tidak berdaya; lesu
  • limbak, berlimbak-limbak = bertimbun-timbun; bertumpuk-tumpuk
  • lohok = busuk sekali
  • lucah = keji; cabul; hina sekali; tidak sopan; tidak senonoh

  • mahajana = orang yang amat ternama; orang besar; masyarakat umum 
  • maharana = perang besar
  • mahardika 1. berilmu (cerdik, pandai, bijaksana); 2. berbudik luhur; 3. bersifat bangsawan
  • maherat = pergi (melarikan diri); hilang
  • majal = tumpul; tidak tajam
  • majuh = lahap, rakus
  • majun = jamu atau obat kuat untuk laki-laki yang dibuat dari bermacam-macam ramuan yang membuat badan menjadi terasa hangat, sehat, kuat, dan bersemangat muda
  • makam = tempat tinggal; kediaman
  • bermakam = bertempat tinggal; bersemayam
  • manggah = sesak nafas (asma)
  • muruah = harga diri; martabat
  • megak = 1. pemberani; tidak takut-takut; 2. sangat angkuh
  • monyos = 1. mendapat malu (karena kalah dsb.); 2. malu; kemalu-maluan
  • mumbung = sangt penuh isinya hingga melebihi ukuran tetapi tidak sampai melimpah

  • nahak, ternahak = bangkit (tentang perasaan, selera, dsb.)
  • nasakh, menasakhkan = menghapuskan; menghentikan
  • natang = tingkap atau jendela kecil
  • natijah = kesimpulan
  • nuraga = simpati; berbagi rasa
  • nyanyah, menyanyah = selalu berkata yang bukan-bukan; merepek
  • nyenyal = tidak kerap, tidak padat, atau tidak rapi (tentang anyaman, tenunan, jahitan); jarang
  • nyenyat = sunyi senyap
  • obar = kobar
  • ongah-angih = goyah-goyah (karena tidak kuat)
  • fusta = perahu (kapal)
  • fusuk = perbuatan yang menyimpang dari jalan yang benar menurut agama



 
Oleh Yadhi Rusmiadi Jashar


Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Contoh: Nenek saya, baru datang, di pasar, dan sedang membaca.

Kata majemuk atau kompositum adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantis yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan (KBBI). Kata majemuk juga memiliki pengertian gabungan dua kata atau lebih yang memiliki struktur tetap, tidak dapat disisipi kata lain atau dipisahkan strukturnya karena akan memengaruhi arti secara keseluruhan. Contoh: rumah makan, rumah sakit, kereta api, dan air mata.

Idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Idiom merupakan perpaduan dua kata atau lebih yang maknanya tidak dapat secara langsung ditelusuri dari makna masing-masing kata yang tergabung. Contoh idiom adalah membanting tulang, panjang tangan, dan tebal telinga.

Perbedaan frasa, kata majemuk, dan idiom; frasa tidak memiliki makna baru, melainkan makna sintaktik atau makna gramatikal. Contoh, kaki Nasir yang maknanya secara sintaktik atau gramatikal sesuai dengan kata 'kaki' dan 'Nasir'. Kata majemuk sebagai komposisi memiliki makna baru atau memiliki satu makna tetapi maknanya masih dapat ditelusuri secara langsung dari kata-kata yang digabungkan. Contoh, kaki meja yang masih dapat ditelusuri dari makna 'kaki' dan 'meja'. Idiom memunculkan makna baru yang tidak dapat secara langsung ditelusuri dari kata-kata yang digabungkan. Contoh, kaki tangan yang tidak ada sangkut pautnya dengan 'kaki' dan 'tangan'.

 
1. Ejaan van Ophuijsen

Pada tahun 1901 ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen, ditetapkan. Ejaan tersebut dirancang oleh van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Hal-hal yang menonjol dalam ejaan ini adalah sebagai berikut.

  1. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
  2. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
  3. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, 'akal, ta', pa', dinamai'.


2. Ejaan Soewandi

Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah sebagai berikut.

  1. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.
  2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
  3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
  4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.


3. Ejaan Melindo

Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slametmulyana-Syeh Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmian ejaan itu.

4. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.

Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.

Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.

Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah sebagai berikut.

1. Perubahan Huruf

Ejaan Soewandi Ejaan yang Disempurnakan

dj djalan, djauh j jalan, jauh

j pajung, laju y payung, layu

nj njonja, bunji ny nyonya, bunyi

sj isjarat, masjarakat sy isyarat, masyarakat

tj tjukup, tjutji c cukup, cuci

ch tarich, achir kh tarikh, akhir

2. Huruf-huruf di bawah ini, yang sebelumnya sudah terdapat dalam Ejaan Soewandi sebagai unsur pinjaman abjad asing, diresmikan pemakaiannya.

f maaf, fakir

v valuta, universitas

z zeni, lezat

3. Huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai

a : b = p : q

Sinar-X

4. Penulisan di- atau ke- sebagai awalan dan di atau ke sebagai kata depan dibedakan, yaitu di- atau ke- sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, sedangkan di atau ke sebagai kata depan ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya.

di- (awalan) di (kata depan)

ditulis di kampus

dibakar di rumah

dilempar di jalan

dipikirkan di sini

ketua ke kampus

kekasih ke luar negeri

kehendak ke atas

5. Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak boleh digunakan angka 2.

  anak-anak, berjalan-jalan, meloncat-loncat

Sumber: Arifin, Zaenal dan S. Amran Tasai. 2007. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

 
Uum G. Karyanto 

 Incumbent = Petahana

Kata 'incumbent' sebenarnya bisa saja diganti dengan istilah 'penjabat' atau 'pejabat'. Namun, kata 'pejabat' terlanjur digunakan dengan arti 'pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting'. Sementara itu, 'penjabat' memiliki arti 'pemegang jabatan sementara'. 

Salomo Simanungkalit dari Harian Kompas mengusulkan kata 'petahana' sebagai padanan kata 'incumbent'. Setelah saya lihat, di dalam KBBI terdapat kata 'tahana' yang berarti 'kedudukan, martabat (kebesaran, kemuliaan, dsb) dan kata 'bertahana' yang berarti 'bersemayam; duduk'. Jika kita berpedoman pada pola pembentukan kata bahasa Indonesia, kata 'petahana' dapat diterima. Coba kita lihat analogi sebagai berikut.
tinju -- bertinju -- petinju
tatar -- bertatar -- petatar
Maka:
tahana -- bertahana -- petahana.

Dari segi arti juga bisa diterima. Kata ini dapat kita artikan 'yang sedang memegang jabatan'. Contoh pemakaiannya: Sebagai petahana, Foke tidak boleh berkampanye pada pilgub DKI Jakarta sebelum mengambil dan diizinkan cuti.

Bagaimana kalau ramai-ramai (bersama Pak Salomo) kita usulkan agar kata 'petahana' dimasukan ke dalam KBBI edisi berikutnya sebagai pengganti kata 'incumbent'.
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Menurut Nurgiyantoro, Sudut pandang orang ketiga (dia) dibagi menjadi dua, yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu dan sudut pandang orang kletiga sebagai pengamat. Pengarang, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ”dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ”dia”yang satu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.

Contoh:
Sudah genap satu bulan dia menjadi pendatang baru di komplek perumahan ini. Tapi, belum satu kali pun dia terlihat keluar rumah untuk sekedar beramah-tamah dengan tetangga yang lain, berbelanja, atau apalah yang penting dia keluar rumah.
“Apa mungkin dia terlalu sibuk, ya?” celetuk salah seorang tetangganya. “Tapi, masa bodoh! Aku tak rugi karenanya dan dia juga tak akan rugi karenaku.”
Pernah satu kali dia kedatangan tamu yang kata tetangga sebelah adalah saudaranya. Memang dia sosok introvert, jadi walaupun saudaranya yang datang berkunjung, dia tidak bakal menyukainya.

Kalau orang ketiga sebagai pengamat, si pengarang menceritakan si tokoh secara terbatas. Pengarang cuma melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh ”dia”, namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.

Contoh:
Entah apa yang terjadi dengannya. Datang-datang ia langsung marah. Memang kelihatannya ia punya banyak masalah. Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya itu yang ia rasakan. Tapi sepertinya ia juga sakit. Bibirnya tampak kering, wajahnya pucat,dan rambutnya kusut berminyak seperti satu minggu tidak terbasuh air. Tak satu pun dari mereka berani untuk menegurnya, takut menambah amarahnya.

Contoh sudut pandang orang pertama (aku) dapat diperhatikan dalam cuplikan novel Dua Ibu karya Mbak Sowiyah berikut ini.
Dan, dalam hal hubungan adikku dengan laki-laki yang oleh adikku dipanggilnya Mas Bayu itu, akulah yang paling keras menentangnya. Aku yakin, andai saja aku menyatakan setuju, tentu ayah ibuku akan setuju juga (Halaman 137).

 
Yadhi Rusmiadi Jashar 
 Contek dan Menyontek

Orang sering menganggap bahwa bentuk dasar dari kata "menyontek" adalah "contek". Kita lalu mengenal kata "contekan". Benarkah anggapan tersebut? Ternyata kita keliru. Bentuk dasar kata "menyontek" adalah "sontek". Menurut KBBI, sontek/menyontek memiliki arti 1) melanggar, menolak, menyerang, menggocoh; 2) mengutip (tulisan dsb.) sebagaimana aslinya, menjiplak. Sontekan memiliki arti hasil menjiplak. Proses morfologi yang benar adalah meN- + sontek --> menyontek (fonem /s/ luluh). Jika mau dipaksakan bentuk dasar "menyontek" adalah "contek", seharusnya bentuk yang benar bukan "menyontek" tetapi "mencontek" karena fonem /c/ tidak luluh atau lesap.
 
*Kiki Zakiah Nur, S.S.

Dalam berbahasa, banyak yang sering melakukan kesalahan. Kesalahan tersebut mungkin disadari, mungkin juga tidak. Akibat kesalahan tersebut, bahasa yang digunakan menjadi kacau. Kekacauan dalam berbahasa ini disebut dengan kontaminasi. Istilah lainnya adalah kerancuan. Kontaminasi atau kerancuan merupakan pencampuradukan dua bentuk bahasa yang masing-masing dapat berdiri sendiri, atau disatukan dalam satu bentukan baru yang tidak sepadan sehingga melahirkan bentukan baru yang kacau.

Contoh kekacauan bahasa pada kata berulangkali dan seringkali. Kedua kata itu sering ditemukan dalam berbahasa. Kata berulangkali sebenarnya berasal dari dua bentukan kata yang benar, yakni berulang-ulang dan berkali-kali. Akan tetapi, orang sering menggabungkan keduanya dan pada akhirnya menghasilkan bentukan baru yang kacau.

Kata seringkali berasal dari kata sering dan banyak kali atau kerap kali atau acap kali. Kata sering di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna banyak kali. Jika begitu, makna kata seringkali menjadi banyak kali-kali atau kerap kali-kali. Makna itu tentu kacau karena kata itu memang berasal dari bentukan yang kacau pula. Jadi, bentuk yang tepat untuk kata seringkali adalah kerap kali atau acap kali, atau dapat juga dikatakan sangat sering.

Kata lainnya yang juga sering digunakan secara kacau adalah mengenyampingkan. Untuk membuktikan bahwa kata itu salah dapat dijelaskan struktur katanya.
Kata mengenyampingkan merupakan bentukan dari kata dasar samping yang diberi awalan me- dan akhiran –kan, yaitu me- + ke samping + -kan. Kemudian, unsur-unsur itu disatukan menjadi mengesampingkan. Hanya fonem /k/ pada awal kata ke samping yang luluh menjadi bunyi sengau /ng/, sedangkan bunyi /s/ pada kata samping tidak perlu diluluhkan. Sementara itu, ada juga bentuk menyampingkan yang berasal dari kata dasar samping yang diberi awalan me- dan akhiran –kan, yakni me- + samping + -kan menjadi menyampingkan. Pada bentukan tersebut, fonem /s/ pada awal kata samping menjadi luluh menjadi bunyi sengau /ny/. Jadi, bentukan mengenyampingkan merupakan bentuk rancu dari bentuk menyampingkan dan mengesampingkan.

Ada ungkapan yang sebenarnya kacau. Akan tetapi, karena banyak orang yang tidak mengetahuinya, mereka sering menggunakannya dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Bentuk ungkapan itu adalah semakin hari, misalnya semakin hari semakin cantik saja gadis itu. Penjelasannya adalah bahwa kata semakin atau makin diikuti oleh kata sifat atau adjektiva, misalnya semakin baik, semakin lama, makin buruk. Kata semakin atau makin tidak diikuti oleh kata benda atau nomina. Jadi, tidak ada semakin tahun, semakin baju (Buku Praktis Bahasa Indonesia 1). Kata hari juga termasuk jenis kata benda atau nomina. Jadi, ungkapan semakin hari merupakan ungkapan yang kacau.

Sebenarnya kontaminasi atau kekacauan dalam berbahasa ini dapat dihindari asalkan orang tahu bagaimana bentuk yang benar dan tahu bagaimana bentuk yang salah.

*Tenaga Teknis Kantor Bahasa Provinsi Lampung